Mengurai Kontroversi Pidato Gubernur Jakarta
Jakarta (HS) – Pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah pelantikannya memicu percakapan di media sosial terkait keputusannya untuk menggunakan kata ‘pribumi’. Sebagian pengguna media sosial merasa tidak terkejut ketika kata tersebut muncul setelah rangkaian kampanye pilkada DKI Jakarta yang penuh dengan politik identitas.
Di Spredfast, penggunaan kata ‘pribumi’ tercatat mulai muncul pada Senin (16/10), sekitar pukul 18.00 WIB menjelang berlangsungnya acara pesta rakyat setelah pelantikan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Istana Negara.
Salah satu cuitan pertama yang muncul adalah foto kemunculan spanduk bertuliskan ‘Pribumi Muslim’ yang diduga dibentangkan di depan Balai Kota pada hari pelantikan pasangan gubernur-wakil gubernur tersebut.
Selanjutnya, penggunaan kata ‘pribumi’ muncul dalam sekitar 77.500 cuitan dalam kurang dari 24 jam atau meningkat lebih dari 26.894%.
Dalam pidatonya itu, Gubernur Anies mengatakan bahwa, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.”
Anies mengawali penggunaan kata pribumi tersebut dari konteks kolonialisme, bahwa Jakarta merupakan satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat selama ratusan tahun.
“Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari hari. Karena itu bila kita merdeka maka janji janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta,” kata Anies dalam pidatonya.
Anies brought up the term ‘pribumi’ during his very FIRST speech as a governor? pic.twitter.com/z7l0QGoi44
— al (@putmeinthemovie) 17 Oktober 2017
Pada Selasa (17/10), setelah penggunaan kata ‘pribumi’ menjadi perdebatan ramai, Anies menjelaskan bahwa dalam pidatonya itu, istilah tersebut digunakan untuk era kolonialisme.
“Karena di situ saya juga menulisnya era penjajahan dulu,” kata Anies di Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
“Kalau kota lain itu tidak melihat Belanda secara dekat. Yang melihat Belanda jarak dekat siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok Indonesia, tahu ada Belanda. Tapi nggak lihat di depan mata. Yang lihat di depan mata itu kita di kota Jakarta ini,” tutur Anies. “Pokoknya itu digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda.”
Namun konteks kolonialisme yang digunakan oleh Anies itu tampaknya ditanggapi berbeda oleh sebagian pengguna media sosial.
Sebagian tetap merasa bahwa penggunaan kata tersebut adalah salah satu contoh penggunaan ‘dog-whistle politics‘, ketika sebuah pesan politik menggunakan bahasa berkode yang tampaknya berarti satu hal bagi satu kelompok masyarakat, namun memiliki makna berbeda dan lebih spesifik pada kelompok tertentu, seperti yang disoroti oleh komedian Ernest Prakasa.
“Gausah lebay lu!”. Gpp teman2, saya maafkan. Mungkin kalian ga pernah merasakan satu tragedi dimana status “pribumi” jd penentu nyawa.
— #SusahSinyal21Des (@ernestprakasa) 17 Oktober 2017
Salah satu cuitan yang paling banyak disebarkan terkait penggunaan kata ‘pribumi’ adalah dari pengguna Muannas Alaidid yang menyebut dirinya ‘advokat Indonesia konsultan & spesialisasi ITE’ di bio akun media sosialnya.
Muannas mengatakan bahwa, “UU No.40 Th.2008 Ttg penghapusan diskriminasi ras & etnis telah meniadakan istilah pribumi/cina yg ada WNI.”
UU No.40 Th.2008 Ttg penghapusan diskriminasi ras & etnis telah meniadakan istilah pribumi/cina yg ada WNI. blum satu hari dilantik sdh begini, statement yg memprihatinkan gmn mau merangkul 😭
Anies: Kini Saatnya Pribumi Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendirihttps://t.co/w95dLmfpqc
— Muannas Alaidid (@muannas_alaidid) 16 Oktober 2017
Anies: saatnya pribumi jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Buku sejarah: nenek moyang asli Indonesia dari Yunan, China Selatan.
Netyzen:
Bapak jg kan keturunan Arab?Pendukung: tolong pahami konteks
Tapi ucapan Ahok kenapa gak dipahami konteksnya & penjarain ybs?#rauwisuwis
— 🕵️♂️ (@adimasnuel) 16 Oktober 2017
Sebagian pengguna media sosial melihat bahwa pernyataan Anies dalam pidatonya tersebut merupakan bagian dari ‘pemenuhan janji kemerdekaan’ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun hal ini dibantah oleh beberapa sejarawan di media sosial, seperti Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah Historia.
Dia menyatakan bahwa sejak dari masa kolonial pun, ‘pribumi’ adalah istilah dengan makna rasialistis – tidak hanya terbatas untuk merujuk pada warga keturunan Cina saja.
Bro, gw kritik nih ya, penggunaan kata pribumi dalam konteks kolonial itu udah rasis. Konsep rasialistis itu diatur dalam Regeeringsreglements 1854. Stelah 17 Agustus 1945 konsep itu diganti jadi kewarganegaraan. https://t.co/hhf3P8D1bf
— Bonnie Triyana (@BonnieTriyana) 16 Oktober 2017
Istilah pribumi itu rasistis, bray. Terjemahan langsung dari inlander. Masy kolonial dibagi 3: Europeesch, Vreemde Oosterlingen (Cina, Arab, India, Jepang) dan Inlander. Setelah 1928 or payu lagi tuh. Apalagi setelah 17 Agustus 1945. https://t.co/yvRYM76mQm
— Bonnie Triyana (@BonnieTriyana) 16 Oktober 2017
Sementara beberapa pengguna lain mempertanyakan kenapa penggunaan kata ‘pribumi’ oleh Presiden Joko Widodo tidak mendapat kritikan serupa, sambil menyertakan beberapa screenshot judul-judul berita yang menggunakan kata ‘pribumi’.
Pribumi itu tergantung siapa yg berucap, kalau yg itu dan jajaran menterinya akan dianggap nasionalis sejati. Klo pak Anies, wah rasis 😁😁 pic.twitter.com/1IhKbGYsCY
— Vicky F. Iqbal (@Vicky_erFu) 17 Oktober 2017
Salah satu berita yang paling banyak diambil gambarnya adalah berita dari CNN Indonesia dari 22 Juni 2016 berjudul ‘Jokowi Minta Utamakan Pengusaha Lokal di Proyek 35 Ribu MW’ yang asalnya sempat berjudul “Jokowi Minta ESDM Prioritaskan Pribumi di Proyek 35 Ribu MW” dan kemudian diubah pada 17 Oktober 2017, karena ” tidak sesuai dengan isi berita yang tidak memuat pernyataan dengan menggunakan istilah “pribumi”.”